Kerusuhan melanda Papua Nugini pada Rabu (10/1) ketika demonstrasi damai di gedung parlemen berubah menjadi kekacauan di jalan-jalan Port Moresby. Toko-toko dan tempat usaha di kota ini menjadi sasaran pembakaran dan penjarahan oleh ratusan orang yang tidak puas dengan situasi ekonomi.
Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, menyatakan bahwa kabinet nasional memberikan wewenang kepada militer untuk membantu polisi memulihkan keamanan. Dia menegaskan bahwa tidak ada pemotongan gaji yang disengaja, melainkan kesalahan sistem yang mengakibatkan pengurangan pendapatan bagi abdi negara. Meskipun Marape meminta maaf atas kesalahan ini, ratusan orang berkumpul di luar gedung pemerintah, merasa terdorong untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Kejadian ini juga mencakup penembakan, kebakaran, dan layanan ambulans yang menerima panggilan darurat terkait insiden tersebut. Pusat perbelanjaan besar di pusat kota menjadi korban pembakaran, menciptakan suasana kacau di Port Moresby.
Salah satu pemilik bisnis yang terdampak adalah Alam Bhuiyan, seorang pengungsi Bangladesh. Supermarketnya di pinggiran Tokarara dirampok, dan barang dagangannya senilai lebih dari 1 juta Kina dicuri. Bhuiyan mengungkapkan keputusasaannya, menyebut bahwa seluruh hidup dan investasinya telah hilang.
Kesalahan penggajian yang mengakibatkan pemotongan pendapatan polisi, militer, dan pegawai negeri sekitar $100 atau Rp.1,5 juta juga menjadi fokus perhatian. Marape menegaskan bahwa hal ini bukan pemotongan gaji yang disengaja, tetapi kesalahan teknis dalam sistem penggajian Alesco. Departemen Keuangan, Departemen Perdana Menteri, dan Komisi Pendapatan Internal berjanji untuk segera mengeluarkan pernyataan dan memperbaiki situasi ini.
Kondisi politik yang tidak stabil, ditandai dengan mosi tidak percaya terhadap James Marape, semakin memperumit situasi. Pemimpin Oposisi, Joseph Lelang, menyatakan bahwa kerusuhan dan protes mencerminkan penderitaan ekonomi masyarakat, dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi dan inflasi yang meningkat.
Ketidakpuasan ini mencerminkan frustrasi masyarakat terhadap pemerintah, dan sebagian besar diwujudkan melalui protes di jalan-jalan. Demonstrasi ini juga memunculkan pertanyaan tentang kesenjangan ekonomi dan kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh warga Papua Nugini.