Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah memulai penyelidikan terhadap dugaan penyebaran ujaran kebencian yang dilakukan oleh Politikus PSI, Ade Armando, terkait tudingan politik dinasti di DIY. Kasubbid Penmas Bid Humas Polda DIY, AKBP Verena SW, mengkonfirmasi bahwa penyelidikan sudah dilakukan, namun belum memberikan rincian mengenai langkah-langkah yang diambil oleh Polri dalam mengusut kasus tersebut.
“Sudah penyelidikan,” ujar Verena, sambil menambahkan bahwa informasi lebih lanjut akan diberikan jika ada perkembangan dalam penyelidikan tersebut.
Dugaan ujaran kebencian ini bermula dari laporan yang diajukan oleh Prihadi Beni Waluyo, koordinator Aliansi Masyarakat Jogja Istimewa, kepada Polda DIY pada tanggal 6 Desember. Ade Armando dilaporkan dengan tuduhan penyebaran ujaran kebencian sesuai dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE, terkait pernyataannya yang menyebut DIY sebagai perwujudan politik dinasti.
Laporan tersebut tidak berhenti pada satu kasus. Sehari setelahnya, Ade Armando kembali dilaporkan ke Polda DIY oleh Anwar Musadad, seorang lurah di Kulon Progo. Anwar, didampingi oleh Paguyuban Masyarakat Ngayogyakarta Untuk Sinambungan Keistimewaan (Paman Usman), mengungkapkan rasa sakit hatinya atas pernyataan Ade Armando yang menyudutkan DIY sebagai manifestasi dinasti politik. Anwar sebagai pemangku keistimewaan merasa tidak terima dan memilih untuk mengambil langkah hukum.
“Biar semua paham bahwa kita juga negara hukum, boleh berpendapat tapi juga paham risikonya dan mungkin untuk pembelajaran yang lain agar berhati-hati agar kelanjutan tidak ada si A (Ade Armando) yang lain lagi,” ucap Anwar setelah melaporkan kasus ini di SPKT Polda DIY.
Kuasa hukum Anwar, Mustafa, menjelaskan bahwa laporan yang diajukan mencakup dugaan tindak pidana kejahatan ITE sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Pasal-pasal yang dijadikan dasar laporan melibatkan penghasutan terhadap penguasa, penyebaran berita bohong atau hoaks, dan ujaran kebencian.
“Poin khusus adalah tiga poin, ada sembilan pasal tapi poinnya ada tiga, pertama adalah penghasutan terhadap penguasa, kedua berita bohong atau hoaks, ketiga ujaran kebencian,” jelas Mustafa.
Kasus ini membuka diskusi lebih luas mengenai batas-batas kebebasan berpendapat dan dampak hukum terhadap pernyataan yang dianggap sebagai ujaran kebencian. Ade Armando sebagai tokoh publik diharapkan dapat memberikan klarifikasi terkait pernyataannya, sementara kepolisian akan melakukan penyelidikan secara profesional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kejadian ini juga menyoroti pentingnya tanggung jawab dalam menggunakan media sosial dan platform publik, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh di masyarakat. Dalam era di mana informasi dapat dengan cepat menyebar dan berdampak luas, kesadaran akan konsekuensi hukum dari pernyataan publik menjadi semakin penting.