Baba.co.id, Dalam debat capres perdana yang digelar pada Selasa (12/12), calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, mencuri perhatian dengan aksinya yang kontroversial. Pakar psikologi forensik, Reza Indrari Amriel, mengungkapkan rasa mirisnya terhadap gimik yang ditunjukkan Prabowo dalam acara tersebut. Menurut Reza, aksi joget dan silat yang dilakukan Prabowo tidak sesuai dengan konteks acara.
“Prabowo joget terlalu sering, tanpa musik pula. Seperti tidak mengenali situasi. Saat ditanya hal serius, tanpa jawaban tuntas, Prabowo malah menggenapinya dengan berjoget,” ujar Reza di Jakarta pada Rabu (13/12). Menurutnya, joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara, bersamaan dengan pernyataan yang cenderung mengambang dan terputus, dapat menjadi pertanda bahwa Prabowo mungkin sudah tidak lagi memiliki kemampuan eksekutif yang mumpuni.
Reza menjelaskan bahwa joget yang terkesan sebagai bentuk kompensasi dan pengalihan perhatian bisa menjadi indikasi menurunnya kemampuan Prabowo dalam berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara. Konsep “executive functioning,” yang mencakup kemampuan seseorang dalam mengelola informasi dan membuat keputusan yang solid, tampaknya menjadi sorotan dalam evaluasinya terhadap penampilan Prabowo.
“Joget gemoy ini seakan menjadi cara untuk mengalihkan perhatian dari keterbatasan Prabowo dalam berpikir strategis. Ini bisa menjadi senjata makan tuan jika tidak diatasi dengan serius,” terangnya. Reza juga memberikan peringatan bahwa strategi branding melalui joget bisa berpotensi menjadi bumerang, di mana upaya untuk mengarahkan Prabowo agar terus berjoget dapat menjadi tanda bahwa orang-orang di sekitarnya tidak fokus pada pemulihan executive functioning Prabowo, melainkan justru mempertumpulkan kapasitas kognitifnya.
“Dua jam debat berlangsung. Executive functioning Prabowo tertakar, dan saya merasa empati pada beliau,” tandasnya.
Keterbatasan Strategis Prabowo dan Risiko Branding
Selain evaluasi terhadap kemampuan eksekutif Prabowo, Reza juga menyoroti aspek strategis dalam berpikir dan mengambil keputusan. Joget yang dilakukan Prabowo tanpa mempedulikan konteks acara debat bisa mencerminkan tidak hanya kurangnya keseriusan, tetapi juga menandakan menurunnya kemampuan strategisnya.
“Joget gemoy terkesan sebagai bentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian atas menurunnya kemampuan Prabowo dalam berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara,” terangnya. Reza menegaskan bahwa dalam suatu debat capres, diharapkan setiap calon mampu memberikan jawaban yang substansial dan tegas terkait isu-isu yang dihadapi negara.
Namun, Prabowo tampaknya lebih memilih untuk berjoget daripada memberikan jawaban yang mendalam. Reza mencatat bahwa pernyataan Prabowo seringkali bersifat mengambang dan tidak memberikan kejelasan yang diharapkan oleh pemilih. Hal ini bisa menjadi risiko bagi citra Prabowo sebagai pemimpin yang mampu berpikir strategis dan mengambil keputusan tuntas.
Pentingnya “Executive Functioning” dalam Pemimpin
Konsep “executive functioning” atau kemampuan eksekutif mencakup beberapa aspek kognitif, termasuk kemampuan untuk mengelola informasi, memproses data, dan membuat keputusan yang efektif. Reza menekankan bahwa dalam konteks kepemimpinan, kemampuan ini sangat krusial.
“Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan eksekutif yang kuat. Mampu mengelola informasi dengan baik, membuat keputusan yang tepat, dan berpikir strategis adalah hal-hal yang tidak bisa diabaikan dalam menjalankan tugas kepemimpinan,” ujarnya. Reza juga mencatat bahwa dalam posisi presiden, kemampuan eksekutif sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan kompleks dan dinamis yang dihadapi oleh negara.
Joget yang dilakukan Prabowo tanpa mempertimbangkan konteks acara debat menjadi sorotan karena dapat mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya sikap serius dan fokus dalam sebuah forum yang seharusnya menjadi ajang presentasi ide dan visi pemimpin.
Tanda Menurunnya Kemampuan Prabowo?
Reza mencoba menguraikan bahwa joget yang dilakukan Prabowo bisa diartikan sebagai bentuk kompensasi. Joget mungkin menjadi cara bagi Prabowo untuk mengalihkan perhatian dari keterbatasannya dalam memberikan jawaban yang tegas dan substansial terkait isu-isu penting.
“Joget gemoy terkesan sebagai bentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian atas menurunnya kemampuan Prabowo dalam berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara,” terangnya. Reza menambahkan bahwa jika joget tersebut adalah hasil dari arahan orang-orang di sekitar Prabowo, hal ini bisa menjadi pertanda bahwa mereka tidak fokus pada pemulihan kemampuan eksekutif Prabowo, melainkan justru mempertumpulkan kapasitas kognitifnya.
“Dua jam debat berlangsung. Executive functioning Prabowo tertakar, dan saya merasa empati pada beliau,” tandasnya. Reza mengingatkan bahwa dalam dunia politik, penampilan dan kesan sangat penting. Joget yang terlalu sering dan tidak sesuai konteks bisa berisiko merusak citra seorang calon presiden.
Potensi Bumerang Strategi Branding
Pertanyaan muncul tentang apakah strategi branding melalui joget yang diterapkan dalam debat capres dapat menjadi senjata bumerang. Reza mengemukakan bahwa jika orang-orang di sekitar Prabowo terus mendorongnya untuk berjoget, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa mereka tidak serius dalam memulihkan kemampuan eksekutif Prabowo.
“Strategi branding melalui joget bisa berpotensi menjadi bumerang jika tidak diatasi dengan serius. Orang-orang di sekitar Prabowo seharusnya fokus pada pemulihan executive functioning, bukan malah mempertumpulkan kapasitas kognitifnya,” ujarnya. Reza menegaskan bahwa sebagai calon presiden, Prabowo harus lebih diarahkan pada upaya pemulihan kemampuan eksekutifnya daripada terus-menerus berjoget di atas panggung debat.
“Dua jam debat berlangsung. Executive functioning Prabowo tertakar, dan saya merasa empati pada beliau,” tandasnya.