Kampung Arab atau Perkampungan Arab Al-Munawar, yang telah berdiri sejak Abad ke-18, kini menjadi salah satu destinasi Wisata Religi terkemuka di Kota Palembang. Delapan bangunan bersejarah di kampung ini merupakan hasil pembangunan oleh Habib Abdurrachman Al-Munawar, yang disediakan khusus untuk anak-anaknya yang telah menikah.
Menurut seorang tokoh masyarakat, rumah-rumah ini telah ditempati oleh tujuh hingga delapan generasi, menunjukkan usia kira-kira 200-300 tahun. Nama “Al-Munawar” dianggap sebagai sebuah identitas suku atau marga keluarga, serupa dengan tradisi masyarakat Palembang yang memiliki sebutan khas seperti Kyai Agus, Nyayu, Nyimas, dan lainnya.
Sejarah Kampung Al Munawar
Sejarah Kampung Arab Al Munawar berawal dari kedatangan seorang saudagar bernama Habib Abdurrachman atau dikenal dengan Abdullah Al Munawar dari Kota Hadramaut, Yaman Selatan. Habib Abdurrachman datang ke Palembang pada masa Kesultanan Palembang Darussalam untuk berdagang.
Kedatangan Habib Abdurrachman disambut baik oleh Kesultanan Palembang Darussalam. Ia kemudian diangkat menjadi salah satu penasihat Sultan Mahmud Badaruddin II. Habib Abdurrachman juga menikah dengan seorang wanita Palembang dan memiliki keturunan.
Keturunan Habib Abdurrachman kemudian menetap di Palembang dan membentuk sebuah kampung yang kemudian dikenal sebagai Kampung Arab Al Munawar. Kampung ini menjadi pusat permukiman orang Arab di Palembang.
Kampung Arab Al Munawar memiliki banyak rumah tua yang dibangun pada masa lalu. Rumah-rumah ini terbuat dari kayu dan batu, dan memiliki arsitektur yang khas. Beberapa rumah tua di Kampung Arab Al Munawar bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah.
Kampung Arab Al Munawar juga memiliki beberapa situs bersejarah, seperti Masjid Al Munawar, Makam Habib Abdurrachman, dan Makam Habib Muhammad Al Munawar. Masjid Al Munawar merupakan salah satu masjid tertua di Palembang, dan dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Kampung Arab Al Munawar merupakan salah satu destinasi wisata sejarah dan religi di Palembang. Kampung ini menjadi saksi bisu sejarah panjang keberadaan orang Arab di Palembang.
Kampung Arab Al Munawar Menjadi Objek Wisata Religi Palembang
Kampung Arab Al Munawar memiliki sebanyak 17 bangunan rumah, tetapi hanya delapan di antaranya yang diakui sebagai cagar budaya. Rumah-rumah tersebut melibatkan Rumah Tinggi, Rumah Kembar Laut, Rumah Limas, dan Rumah Batu. Jumlah penduduk di kampung ini mencapai sekitar 300 orang atau sekitar 30 kepala keluarga.
Mayoritas penduduk kampung ini memiliki profesi sebagai pedagang dan sekaligus berperan sebagai ustadz, penceramah, atau guru mengaji. Sejarah pembangunan kedelapan rumah ini dimulai dari pendiri kampung, yaitu Habib Abdurahman, yang memiliki delapan orang anak. Setiap kali kelahiran anak, Habib Abdurahman membangun rumah baru untuk anak tersebut. Misalnya, ketika anak pertama lahir, dibangun rumah untuknya, dan begitu seterusnya untuk setiap anak yang lahir dari keluarga Habib Abdurahman.
Seperti kebanyakan masyarakat Melayu, penduduk Kampung Arab Al Munawar juga memiliki adat istiadat sendiri. Beberapa tradisi berasal dari keturunan mereka, sementara yang lain telah bersatu dengan budaya Melayu secara umum. Di kampung ini, terdapat banyak aktivitas keagamaan, sesuai dengan nama kampungnya yang mengacu pada budaya Arab. Tokoh masyarakat di Al Munawar menyatakan bahwa sejak dulu hingga saat ini, kampung Arab telah menjadi pusat penyelenggaraan berbagai kegiatan keagamaan.
6 Rumah di Kampung Al Munawar:
Rumah Kembar Darat
Rumah kembar darat (Dibangun Akhir Abad 18) terdiri dari dua bangunan identik yang berhadapan satu sama lain. Mereka menghadap ke Sungai Musi dan terpisah oleh lapangan luas dari rumah yang memiliki orientasi ke utara. Dinding rumah ini menggunakan bahan bata, sementara lantai dua memiliki dinding kayu. Di lantai atas bagian depan rumah, terdapat tiga jendela yang berukuran serupa pintu. Di sisi kiri dan kanan, terdapat jendela sekitar sepertiga tinggi dinding. Rumah Kembar Darat di sebelah selatan ini merupakan yang pertama kali dibangun dibanding yang di utara.
Rumah Kembar Darat memiliki ruang terbuka di bagian belakangnya, dengan teras terbuka yang berada di bagian depan lantai bawah. Teras ini berfungsi sebagai atap untuk lantai atas. Di teras sebelah kiri, terdapat tangga yang menghubungkan lantai bawah dan lantai dua. Bagian tengah lantai bawah mencakup ruang tamu dan kamar tidur, sementara bagian belakang melibatkan teras terbuka, ruang makan, dapur, dan ruang terbuka.
Lantai atas rumah ini juga terbagi menjadi tiga bagian. Bagian depan berupa teras tertutup, bagian tengah berisi ruang-ruang yang berfungsi sebagai kamar tidur, dan bagian belakang adalah teras tertutup. Atap rumah ini berbentuk perisai silang. Konstruksi dan struktur “kembaran” rumah ini sama. Satu-satunya perbedaan adalah posisi tangga yang berada di sisi kiri, menciptakan simetri ketika berhadapan dengan rumah di depannya.
Rumah Kembar Darat ini adalah rumah keempat yang dibangun dan dikhususkan untuk putra keempat Habib Abdurrachman Al Munawwar, yaitu Al Habib Hasan Al Munawwar.
Rumah Darat
Rumah Darat (Dibangun Akhir Abad 18) terletak berhadapan dengan Rumah Tinggi, memiliki bentuk limas, dan seluruhnya dibuat dari bahan kayu. Lantainya memiliki struktur bertingkat (kekijing) dengan bagian-bagian lantai meniru desain rumah limas tradisional Palembang. Atapnya dibentuk seperti piramid terpotong. Pagar tenggalung pada bagian ini tidak menggunakan kisi-kisi, melainkan menggunakan dinding papan. Berbeda dengan rumah limas, bangunan ini memiliki satu tangga batu yang simetris di bagian depan, tidak menggunakan dua tangga di muka rumah.
Tidak dapat dipastikan apakah dinding pagar tenggalung telah mengalami perubahan atau memang sudah memiliki bentuk tersebut sejak awal pembangunan. Begitu pula dengan keberadaan tangga. Sementara itu, ruang-ruang di bawah rumah, yang terdiri dari petak-petak dengan dinding bata dan kayu, kemungkinan merupakan tambahan yang dibuat belakangan.
Dari teras, jika merujuk pada struktur rumah limas yang memiliki pagar tenggalung, terdapat satu tingkat kekijing dengan ketinggian sekitar 30 cm. Ruang ini berfungsi sebagai ruang tamu. Naik satu tingkat lagi, terdapat ruang keluarga dan kamar tidur. Semua ruangan ini terletak dalam satu bangunan utama. Terhubung dengan ruang terbuka (courtyard) yang mirip dengan rumah limas Palembang (bengkilas) untuk mandi dan mencuci, namun lantainya bukan kayu melainkan langsung ke tanah dengan pengecetan semen. Pada tingkat berikutnya, terdapat bangunan tambahan yang digunakan sebagai ruang makan dan dapur (pawon). Rumah Darat merupakan bangunan kedua yang dibangun oleh Al Habib Abdurrachman Al Munawwar untuk putra pertamanya, Al Habib Muhammad Al Munawwar.
Rumah Tinggi
Rumah Tinggi (Dibangun Akhir Abad 17) memiliki karakteristik yang sangat unik karena mengusung desain rumah gudang tanpa tingkat, namun menggunakan atap limas. Dibangun dengan dinding kayu dan tiang kayu, rumah ini terbagi menjadi tiga bagian: bagian depan, tengah, dan belakang. Bagian depan berupa teras terbuka yang meluas sepanjang lebar bagian depan rumah. Bagian tengah terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, dan kamar tidur. Sementara itu, bagian belakang mencakup teras terbuka yang mirip dengan bengkilas pada rumah limas, ruang makan, dapur, dan ruang terbuka.
Pada bagian bawah rumah yang seharusnya terbuka, tampaknya telah ditambahkan dinding papan pada masa setelahnya. Hal ini terlihat dari karakteristik dinding “tambahan” tersebut, yang menunjukkan bahwa pembangunan tersebut tidak terjadi pada waktu yang sama atau bersamaan dengan pembangunan bangunan utama.
Teras terbuka yang memanjang di bagian depan rumah merupakan ciri khas rumah Indies yang dibangun oleh bangsa Eropa di Nusantara. Perbedaannya, rumah ini dibangun dalam bentuk panggung dengan tiang penyangga. Sementara tangga yang terletak di sisi kiri dan kanan rumah mengadopsi desain tangga rumah limas, tetapi dibuat saling berhadapan. Rumah ini merupakan bangunan pertama yang didirikan oleh Al Habib Abdurrachman Al Munawwar.
Rumah Batu
Rumah Batu (Dibangun Akhir Abad 18) memiliki tampilan yang unik dibandingkan dengan arsitektur dan konstruksi rumah lain di Kampung Al Munawwar. Meskipun begitu, dalam struktur ruangannya, rumah ini mengadopsi model Rumah Limas. Konstruksi rumah ini diletakkan di atas fondasi bata dan beton yang tinggi.
Dengan bentuk persegi panjang, rumah ini terdiri dari dua bangunan yang terhubung oleh ruang terbuka di tengahnya. Bagian depan mencakup teras tertutup, ruang tamu, ruang keluarga, dan kamar tidur. Sementara itu, di bagian belakang terdapat ruangan-ruangan yang difungsikan sebagai dapur dan ruang makan.
Struktur bertingkat yang menyerupai limas terlihat pada lantai rumah ini. Dari teras depan, terdapat satu tingkat yang mencakup ruang tamu, ruang keluarga, dan kamar tidur. Sementara itu, dapur dan ruang makan di bagian belakang berada pada tingkat yang lebih rendah dibanding bagian lainnya. Keunikan terlihat pada kusen pintu depan yang memiliki tinggi + 4m dan ubin marmer 50 cm x 50 cm yang diimpor langsung dari Italia. Model atap rumah ini menyerupai perisai, namun terdapat lereng landai pada keempat turunan bubungannya.
Rumah ini menjadi tempat perlindungan bagi seluruh warga Kampung Almunawwar selama pertempuran selama 5 hari 5 malam pada tanggal 1-5 Januari 1947. Ini merupakan rumah ketiga yang dibangun oleh Al Habib Abdurrachman Al Munawwar, yang ditujukan untuk putra ketiganya, yaitu Al Habib Ali Al Munawwar.
Rumah Kembar Laut
Rumah Kembar Laut terdiri dari dua bangunan yang berada di tepian Sungai Musi, dibangun secara bersebelahan dengan desain yang identik, dan dihubungkan oleh teras (garang) di bagian depan maupun belakang rumah, membentuk teras tertutup. Lantai bawahnya memiliki dinding bata, sementara lantai atasnya menggunakan dinding kayu. Kedua rumah ini dibangun hampir secara bersamaan dengan desain yang serupa di bagian barat.
Setiap Rumah Kembar Laut terbagi menjadi tiga bagian, baik di lantai bawah maupun atas. Lantai bawah memiliki teras terbuka di bagian depan, ruang tamu dan kamar tidur di bagian tengah, serta teras terbuka di bagian belakang. Di bagian belakang bangunan, terdapat struktur tambahan yang difungsikan sebagai ruang makan dan dapur.
Lantai atas juga terbagi menjadi tiga bagian, dengan teras tertutup di bagian depan, ruang-ruang yang berfungsi sebagai kamar tidur di bagian tengah, dan teras tertutup di bagian belakang. Teras depan dan belakang juga berperan sebagai penghubung antara kedua rumah. Model atap Rumah Kembar Laut memiliki bentuk perisai. Uniknya, berbeda dari rumah-rumah lain di kampung tersebut, Rumah Kembar Laut dihiasi dengan elemen besi runcing. Besi-besi ini disusun di sepanjang bubungan, dengan pola geometris tertentu. Hiasan yang serupa juga terdapat di bubungan teras yang menghubungkan kedua rumah. Di antara besi-besi tersebut, terdapat hiasan besi yang lebih panjang dengan lengkungan membentuk kelopak di tengahnya. Di puncak hiasan tersebut, terdapat pola lengkungan kelopak dalam ukuran yang lebih kecil. Puncak atap pada bagian sudut juga dihiasi dengan besi yang lebih panjang. Pola lengkungan besi hanya terdapat di puncak besi, berbeda dari pola hiasan di bubungan.
Rumah ini awalnya dibangun untuk Habab Alawiyah Al Munawwar, putri pertama dari Al Habib Abdurrachman Al Munawwar, yang kemudian menikah dengan Al Habib Abdullah bin Alwi bin Ahmad Assegaf.
Rumah Kaca
Rumah ini memiliki desain yang mirip dengan rumah gudang dalam arsitektur tradisional Palembang pada akhir abad ke-18. Bentuknya berupa persegi panjang dengan elemen kaca yang digunakan sebagai hiasan di atas jendela dan pintu. Tangga terletak di sisi kiri rumah, menciptakan tampilan seperti balkon dengan atap berbentuk perisai silang. Meskipun ada beberapa modifikasi di bagian depannya, atapnya menyerupai rumah-rumah Indies Eropa yang terbuat dari bata.
Saat ini, rumah kaca berfungsi sebagai sekolah, yakni Yayasan Perguruan Islam Al Kautsar. Sebagian besar ruang di lantai bawah dan lantai dua telah diubah menjadi kelas, tetapi fungsi asli beberapa bagian rumah masih terlihat. Bagian depan digunakan sebagai ruang tamu, bagian tengah terbagi menjadi ruang keluarga dan kamar tidur, sementara bagian lainnya berfungsi sebagai ruang makan dan dapur. Bagian belakang berupa serambi atau teras terbuka, yang pada rumah Indies biasanya digunakan sebagai tempat makan.
Lantai bawah, yang terbuat dari bata, tampaknya merupakan tambahan yang lebih baru. Ini dapat dihubungkan dengan sejarah pendidikan di Palembang pada awal abad ke-20 yang dimulai oleh muhajir Arab. Keluarga Arab, sebagai minoritas di Palembang, memainkan peran penting dalam bidang agama dan pendidikan. Pada tahun 1907, keluarga Arab mendirikan perkumpulan pendidikan bernama Al-Ihsan sebagai respons terhadap etnis Cina yang telah mendirikan sekolah lebih dulu. Salah satu sekolah dengan nama yang sama didirikan di kawasan Kuto Batu. Pada tahun 1914, keluarga Almunawwar mendirikan Madrasah Al Arabiyah di Kampung Almunawwar.
Rumah ini awalnya dimaksudkan untuk putri keempat Habib Abdurrachman Al Munawwar, yaitu Hababa Roguan Al Munawwar, yang kemudian menikah dengan Al Habib Alwi bin Syech bin Ahmad Assegaf, lebih dikenal sebagai Al Habib Alwi Assegaf.