Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengeluarkan surat edaran kontroversial yang melarang aktivitas LGBT di lingkungan kampus. Surat edaran ini, dengan nomor 2480112/UN1/FTK/I/KM/2023, dikeluarkan oleh Dekan FT UGM, Selo, dan mengecam serta melarang keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di lingkungan kampus FT UGM. Surat edaran ini menyoroti ketidaksesuaian dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan norma yang berlaku di Indonesia.
Dalam dokumen tersebut, FT UGM menyatakan kesiapannya memberikan sanksi maksimal terhadap dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang terbukti terlibat dalam aktivitas atau penyebarluasan terkait LGBT. Namun, surat edaran ini juga mencatat bahwa peraturan ini berlaku di internal Fakultas Teknik dan terkait dengan aktivitas yang terjadi di dalam kampus.
Wakil Dekan Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan, Sugeng Sapto Surjono, menyampaikan bahwa pembuatan surat edaran ini melibatkan diskusi panjang dan melibatkan berbagai pihak di internal fakultas maupun universitas. Keputusan ini diambil setelah menerima laporan dari sejumlah mahasiswi yang merasa resah terkait dengan seorang mahasiswa yang menggunakan toilet putri dengan penampilan seperti perempuan.
Pernyataan Sugeng mencerminkan keinginan pihak kampus untuk mengambil tindakan lebih lanjut terkait kekhawatiran mahasiswi. Namun, pihak kampus juga menekankan pentingnya pendekatan personal dan persuasif, tanpa ingin mengorbankan reputasi atau membuat seseorang merasa terpinggirkan di lingkungan kampus.
Sugeng menambahkan bahwa surat edaran ini hanya berlaku untuk aktivitas LGBT di Fakultas Teknik dan tidak melarang seseorang dengan preferensi tersebut untuk kuliah atau beraktivitas di kampus. Larangan tersebut lebih terfokus pada aktivitas yang terjadi di dalam kampus, seperti penggunaan toilet, tempat wudhu, dan fasilitas lainnya yang berbasis gender.
Surat edaran ini mulai berlaku per 1 Desember 2023 dan telah diketahui oleh pihak rektorat. Meskipun demikian, keputusan ini tetap menjadi sorotan publik dan menimbulkan pro dan kontra terkait hak asasi dan keberagaman di lingkungan pendidikan tinggi.