Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, baru-baru ini dijatuhi hukuman pidana penjara selama 14 tahun. Pria yang telah berkarier lebih dari 30 tahun itu dinyatakan bersalah oleh majelis hakim atas penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan menyamarkan hasil korupsi.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Rafael melanggar Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 3 Ayat 1a dan c UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Selain hukuman penjara, Ketua Majelis Hakim, Suparman Nyompa, juga menjatuhkan denda sebesar Rp 500 juta subsider penjara 3 bulan kepada Rafael. Selain itu, Rafael diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah Rp 10,079 miliar.
Suparman menjelaskan, jika Rafael tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi jumlah tersebut. Dalam hal Rafael tidak memiliki harta yang cukup, hukuman penjara selama 3 tahun dapat dijatuhkan.
Sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga dihadiri oleh hakim anggota Eko Aryanto dan Jaini Basir, serta jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rafael, yang didampingi penasihat hukumnya, turut hadir di ruang sidang. Pekan sebelumnya, sidang putusan sempat ditunda karena majelis hakim belum menyelesaikan putusannya.
Majelis hakim menyatakan bahwa tidak ada alasan yang dapat menghapus pemidanaan terhadap Rafael. Hakim mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan sebelum menjatuhkan putusan. Keadaan yang memberatkan melibatkan Rafael yang tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Di sisi lain, keadaan yang meringankan adalah Rafael telah bekerja sebagai pegawai negeri selama lebih dari 30 tahun dan belum pernah dihukum.
Menurut Suparman, jaksa berhasil membuktikan dakwaan dengan menyajikan bukti pemberian gratifikasi kepada PT Artha Mega Ekadhana (PT ARME) sejumlah Rp 10,079 miliar. Rafael menerima gratifikasi ini bersama istrinya, Ernie Meike Torondek, dari tahun 2002 hingga Maret 2006.
Rafael juga disebut menerima penerimaan lainnya sebesar Rp 47,7 miliar dan mata uang asing senilai 2,098 juta dolar Singapura, 937.900 dolar AS, dan 9.800 euro. Jika dihitung dalam rupiah, penerimaan Rafael mencapai Rp 39,21 miliar.
Total penerimaan Rafael, baik dalam bentuk rupiah maupun mata uang asing, sejak menjabat sebagai pemeriksa pajak pada tahun 2001 hingga menjadi Kepala Bagian Umum Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan pada 2023, mencapai Rp 97 miliar.
Hakim mengungkapkan bahwa antara tahun 2003 hingga 2010, Rafael menyamarkan uang hasil korupsi dengan melakukan transaksi ke penyedia jasa keuangan dan menghabiskannya untuk usaha, pembelian properti, dan mobil. Rafael juga diduga menggunakan uang korupsi untuk modal usaha di PT Statika Kensa Prima Citra (PT SKPC) dan membeli berbagai properti di Jakarta, Bogor, Manado, serta Sleman.
Terkait keterlibatan Ernie, hakim menyatakan bahwa meskipun Ernie adalah pemegang saham dan Komisaris Utama PT ARME, ia tidak aktif dalam rapat pemegang saham atau rapat pengurus perseroan. Rafael selalu yang memimpin rapat dan mengambil keputusan. Ernie dianggap berada dalam posisi lemah dalam rumah tangga dan urusan bisnis keluarganya. Dengan alasan tersebut, hakim menyatakan bahwa Ernie tidak bisa dianggap turut serta secara hukum.
Putusan hakim tersebut sejalan dengan tuntutan Jaksa Wawan Yunarwanto, yaitu hukuman penjara selama 14 tahun. Meski demikian, jumlah pidana denda dan uang pengganti lebih kecil daripada tuntutan jaksa. Jaksa sebelumnya menuntut Rafael dengan pidana denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan pengganti 6 bulan dan uang pengganti Rp 18,9 miliar.
Setelah mendengar putusan, Rafael dan jaksa penuntut umum menyatakan butuh waktu untuk berpikir. Majelis hakim memberikan waktu selama seminggu kepada keduanya untuk mempertimbangkan putusan tersebut.